Maha Cahaya

Kamis, 25 Maret 2010

Daun jendela yang tersibak membuat angin dengan mudahnya mempermainkan tirai yang meliuk-liuk. Menari-nari bisu pada sebuah petang kala langit membiaskan suram di seantero cakrawala. Lentera minyak tua yang karatan ikut bergerak-gerak dan apinya nyaris menjilati dinding kayu kamarku. Cahaya remang yang kekuningan kala minyak di dalamnya hampir kerontang, selalu berhasil menyamarkan rona wajahku yang sebenarnya dingin dan tak bersemangat.

Aku melihat ke luar, dan diam sejenak. Merasakan bunyi ombak yang seolah berteriak kepadaku, tentang apa itu ketegaran dan makna kehidupan yang sudah lama aku lupakan semenjak impianku mendadak lampus satu-persatu. Kudengarkan baik-baik bisik angin yang melantunkan suara adzan dan tibul tenggelam dari sebuah surau di ujung pesisir. Saat pera nelayan melayu menghempaskan segenap lelahnya pada shaf-shaf usang di dalam istana para pendoa sana.



Aku menghela nafas. Menghirup aroma laut ketika matahari telah sekarat. Ah, betapa romantisnya...kala aku ada di sana. Di salah satu shaf usang yang dihalangi hijab putih, bermanja-manja dengan pemilik samudera. Aku membatin. Andai aku bisa ke sana ... Adzan berganti iqamah. Aku bangkit lalu menutup rapat daun jendela yang semenjak tadi berderit dipermainkan angin. Sedetik setelah jendela terkunci, lentaraku mati. Aku didekap gelap. Pekat dan menganga.

* * *

“Bagaimana Hafsah? Sudah kau pertimbangkan masak-masak?”
Ibu menyelinap di bilik kamarku, menghentakku dari hening doa yang lirih keluar dari bibirku yang kelu. Lampu pinyak dari ruang tengah berubah menjadi siluet tajam yang menerobos lurus melalui celah pintu. Beliau memegang pundakku lembut, selembut sentuhan kasih seorang ibu yang seakan menanggung masalah hidup yang sama beratnya seperti yang sedang aku rasakan saat ini. Aku memegang tangan ibu di pundakku namun tak lantas menoleh dan menyeka satu-satu biji air mata dengan ujung mukena. Tidak! Aku tak ingin ibu melihatku menangis. Aku tak ingin beliau menyaksikan kerapuhanku yang kian runtuh hari demi hari.
”Hafsah bersedia dinikahkan dengan Zulki......”
Ibu tercekat, lalu duduk tepat di hadapanku.
”Benarkah itu Nak?” Bola mata ibu berkaca-kaca. Sayang, aku tak bisa melihat dengan jelas raut wajah piasku di sana.
Aku mengangguk pelan. Ibu memegang tanganku dan meremasnya kuat, seakan tak percaya dengan keputusan yang baru saja keluar dari mulutku.
”Sungguh Hafsah bersedia Bu...Hafsah bahagia bila ibu dan ayah pun bahagia. Itu janji Hafsah untuk kalian berdua...” tuturku begitu saja. Kalimat itu seakan terucap dengan sendirinya.
”Kami berdua? Bagaimana denganmu?” ibu dengan cepat membalik pernyataanku. Hatiku ngilu namun tak kuasa untuk meluapkannya. Aku tahu, dustaku akan menyenangkan ayah dan ibu. Dua orang yang teramat berharga tiada tara di sepanjang hidupku.
”Hafsah tahu apa yang Hafsah lakukan. Ibu tak perlu cemas...” ucapku sembari menatapnya dalam.
Saat itu juga ibu memegang kedua pipiku. Mengecupnya lalu mendekapku penuh haru. Kami berdua saling bertangisan. Ibu menangis bahagia, sedang aku menangis terluka.

(to be cont.)

0 komentar:

Scroll Up and dOwn

Sociofluid